Hubungan agama dan politik menjadi topik pembicaraan menarik, baik oleh
golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh golongan yang berpandangan
sekuler.
Munculnya masalah tersebut dipandang wajar disebabkan karena risalah islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah agama yang penuh dengan ajaran dan undang-undang yang bertujuan membangun manusia guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Permasalahan pertama yang dipersoalkan oleh generasi pertama umat islam sesudah Rasulullah Wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau.
Maka dari itu masalah ini akan diuraikan dan dikaji dalam makalah ini sehingga dapat menambah wawasan para pembaca tentang keislaman.
Munculnya masalah tersebut dipandang wajar disebabkan karena risalah islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah agama yang penuh dengan ajaran dan undang-undang yang bertujuan membangun manusia guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Permasalahan pertama yang dipersoalkan oleh generasi pertama umat islam sesudah Rasulullah Wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau.
Maka dari itu masalah ini akan diuraikan dan dikaji dalam makalah ini sehingga dapat menambah wawasan para pembaca tentang keislaman.
1.
Apa yang dimaksud dengan Fiqh Siyasah ?
2. Apa yang dimaksud dengan istilah – istilah berikut :
2. Apa yang dimaksud dengan istilah – istilah berikut :
a. Khilafah (Khalifah)
b. Imamah (Imam)
c. Imarah (Amir)
d. Wizarah (Menteri)
e. Al Ruayaah /Raiyyah
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Fiqih”serta menambah ilmu penulis tentang ketatanegaraan serta kepemimpinanan
dalam islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqh Siyasah Dan Ruang
Lingkup Fiqih Siyasah
1)
Pengertian Fiqh Siyasah.
Kata fiqh siyasah
yang tulisan bahasa Arabnya adalah “الفقه السياسي” berasal dari dua kata yaitu kata fiqh (الفقه) dan
yang kedua adalah al-siyasi (السياسي).
Kata fiqh secara bahasa adalah paham. Ini seperti yang diambil
dari ayat Alquran
yang artinya
: bahwa kaum berkata: Wahai Syu’aib, kami tidak memahami banyak dari apa
yang kamu bicarakan.[2]
Secara
istilah, menurut ulama usul, kata fiqh berarti:
(العلم
بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية)
yaitu mengerti hukum-hukum syariat yang
sebangsa amaliah yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci”.[3]
Sedangkan al-siyasi, secara bahasa berasal dari ساس – يسوس – سياسة
yang memiliki arti mengatur (أمر/دبّر), seperti di dalam hadis
كان بنو إسرائيل يسوسهم أنبياؤهم
أي تتولى أمورهم كما يفعل
الأمراء والولاة بالرعية,
yang berarti bahwa adanya Bani Israil itu
diatur oleh nabi-nabi mereka, yaitu nabi mereka memimpin permasalahan mereka
seperti apa yang dilakukan pemimpin pada rakyatnya.
Bisa juga
seperti kata-kata ساس زيد الأمر أي يسوسه سياسة أي دبره
وقام بأمره yang artinya bahwa
Zaid mengatur sebuah perkara yaitu Zaid mengatur dan mengurusi perkara tersebut.
Sedangkan kata mashdar-nya yaitu siyasah itu
secara bahasa bermaknaالقيام على الشيء بما يصلحه” yang artinya “bertindak pada sesuatu
dengan apa yang patut untuknya.[4]
Apabila
digabungkan kedua kata fiqh dan al-siyasi maka fiqh siyasah yang
juga dikenal dengan nama siyasah syar’iyyah secara istilah
memiliki berbagai arti yaitu pertama, menurut Imam al-Bujairimi bahwa
memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur mereka dengan cara memerintah
mereka untuk mereka dengan sebab ketaatan mereka terhadap pemerintahan.[5] Kedua,
menurut Wuzarat al-Awqaf wa
al-Syu’ûn al-Islamiyyah bi al-Kuwait bahwa memperbagus kehidupan manusia
dengan menunjukkan pada mereka pada jalan yang dapat menyelamatkan mereka pada
waktu sekarang dan akan datang, serta mengatur permasalahan mereka.[6] Menurut
Imam Ibn ‘Abidin bahwa kemaslahatan
untuk manusia dengan menunjukkannya kepada jalan yang menyelamatkan, baik di
dunia maupun di akhirat. Siyasah berasal dari Nabi, baik
secara khusus maupun secara umum, baik secara lahir, maupun batin. Segi
lahir, siyasah berasal dari para sultan (pemerintah), bukan
lainnya. Sedangkan secara batin, siyasah berasal dari ulama
sebagai pewaris Nabi bukan dari pemegang kekuasaan.[7]
2)
Ruang
Lingkup Fiqih Siyasah.
Terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menentukan ruang lingkup
kajian fiqh siyasah. Menurut Imam al-Mawardi, seperti yang
dituangkan di dalam karangan fiqh siyasah-nya
yaitu al-Ahkam al-Sulthaniyyah, maka dapat diambil kesimpulan ruang
lingkup fiqh siyasah adalah sebagai berikut yaitu
pertama, siyasah dusturiyyah. Kedua, siyasah maliyyah. Ketiga, siyasah
qadla`iyyah. Keempat, siyasah
harbiyyah, dan kelima, siyasah `idariyyah. [8] Sedangakan
menurut Imam Ibn Taimiyyah, di dalam kitabnya yang berjudul al-Siyasah
al-Syar’iyyah, ruang lingkup fiqh siyasah adalah sebagai
berikut yaitu pertama, siyasah qadla`iyyah. Kedua, siyasah `idariyyah.
Ketiga, siyasah maliyyah, dan keempat, siyasah dauliyyah/siyasah
kharijiyyah.[9]Sementara
Abd al-Wahhab Khalaf lebih mempersempitnya menjadi tiga bidang kajian saja,
yaitu pertama, siyasah qadla`iyyah . Kedua, siyasah
dauliyyah , dan ketiga, siyasah maliyyah .[10] Salah satu
dari ulama terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, malah membagi ruang
lingkup fiqh siyasah menjadi delapan bidang berserta
penerangannya, yaitu pertama, siyasah dusturiyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan
tentang peraturan perundang-undangan. Kedua, siyasah tasyri’iyyah
syar’iyyah (kebijaksanaan tetang penetapan hukum). Ketiga, siyasah
qadla`iyyah syar’iyyah (kebijaksanaan peradilan). Keempat, siyasah
maliyyah syar’iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter).
Kelima, siyasah `idariyyah syar’iyyah (kebijaksanaan administrasi
negara). Keenam, siyasah dauliyyah/siyasah kharijiyyah syar’iyyah (kebijaksanaan hubungan luar negeri atau internasional). Ketujuh, siyasah
tanfidziyyah syar’iyyah (politik pelaksanaan undang-undang),
dan kedelapan, siyasah harbiyyah syar’iyyah (politik
peperangan). [11]
B.
Khilafah,
Imamah, dan Imarah.
Kata
khilafah diturunkan dari kata khalafa, yang berarti seseorang yang menggantikan
orang lain sebagai penggantinya[12].
Seperti Musa berkata kepada saudaranya yaitu Harun : “Gantikanlah aku dalam
(memimpin) kaumku” (al-Qur’an). [13]Istilah
khilafah adalah sebutan untuk masa pemerintahan khalifah. Dalam sejarah,
khilafah sebutan bagi suatu pemerintahan pada masa tertentu, seperti Khilafah
Abu Bakar, Khilafah Umar bin Khattab dan seterusnya, untuk
melaksanakan wewenang yang diamanahkan kepada mereka. Dalam konteks ini, kata
khilafat bisa mempunyai arti sekunder atau arti bebas, yaitu pemerintahan[14],
atau institusi pemerintah dalam sejarah Islam. Kata khilafat sama pula dengan
kata imamah yang berarti keimanan, kepemimpinan, pemerintahan, dan dengan kata
imarah yang berarti keamiran, pemerintahan. [15]Imarah
sebutan untuk jabatan amir dalam suatu Negara kecil yang berdaulat untuk
melaksanakan pemerintahan oleh seorang amir[16].
Analogi ketiga kata tersebut Nampak pula dalam penggunaannya di dalam kitab
fiqih siyasah. Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkam Al-Sulthaniyat menggunakannya
secara bergantian. Tapi istilah khilafah dan imamah, lebih popular pemakainnya
dalam berbagai literatur ulama fikih dari pada istilah imarah. Muhammad Rasyid
Ridha juga memberikan pengertian yang sama kepada kata khilafah, imamah, dan
imarah, yaitu suatu pemerintahan untuk menegakkan agama dan urusan dunia.[17]
Dalam uraian di atas tampak, kata khilafah yang berakar
pada kata khalafa, mengalami perkembangan arti dari arti asli kepada arti lain
yaitu pemerintahan. Demikian pula istilah imamah. Perkembangan ini tidak lepas
dari penyebutan istilah-istilah itu dalam sejarah bagi seseorang atau
sekelompok orang yang melaksanakan wewenang dalam hal mengurus kepentingan
masyarakat.
Khilafah menurut Ibn Khaldun adalah “tanggung jawab umum
yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan
akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat adalah
tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada
syariat. Hakikatnya, sebagai pengganti fungsi pembuat syariat (Rasulullah SAW)
dalam memelihara urusan agama dan mengatur politik keduniaan[18]. Pengertian ini sama pula dengan imamah secara
istilah. Imamah adalah “kepemimpinan menyeluruh yang berkaitan dengan urusan
keagamaan dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi Rasulullah SAW.” Senada dengan ini dikemukakan oleh
Al-taftazani sebagai dikutip oleh Rasid Ridha
yaitu “imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia
yakni suatu khilafah yang diwarisi dari Nabi.” Demikian pula pendapat
Al-Mawardi: “Imamah dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian guna memelihara
agama dan mengatur dunia.”
Seseorang yang melakasanakan fungsi kekhalifahan, keimaman
dan keamiran dalam sejarah Islam disebut khalifah, imam dan amir. Arti kata khalifah, yang bentuk kata jama’ nya
adalah khulafa’ dan khalaif yang berasal dari kata khalafa, adalah “pengganti”
yaitu “seseorang yang menggantikan tempat orang lain dalam beberapa persoalan.”
[19]Kata
ini telah mengalami perkembangan arti, baik arti khusus maupun umum. Dalam
kamus dan ensiklopedi berbahasa inggris Khalifah berarti “wakil” (deputy),
“pengganti” (successor), “penguasa” (vicegerent), “titel bagi pemimpin
tertinggi komunitas muslim” (title of the supreme head of the Muslim community)
sebagai pengganti Nabi (khalifah Rasul Allah). [20]Khalifah
bisa pula berarti “penguasa besar atau paling tinggi” (al-sulthan al-a’zham). [21]M.H
Abbas mengartikannya dengan “pengganti Nabi” (The successor of the Holy
Prophet)[22].
Dalam ensiklopedi Indonesia, khalifah adalah istilah ketatanegaraan Islam, dan
berarti kepala negara atau pemimpin tertinggi umat Islam.[23]
Menurut istilah, dan dalam kenyataan sejarah, khalifah
adalah “pemimpin yang menggantikan Nabi dalam tanggung jawab umum terhadap
pengikut agama ini untuk membuat manusia tetap mengikuti undang-undangNya yang
mempersamakan orang lemah, orang kuat, orang mulia dan orang hina di depan
kebenaran sebagai khalifah Rasul dalam memelihara agama dan mengatur dunia.”
Al-Maududi juga mengatakan: “Khalifah adalah pemimpin tertinggi dalam urusan
agama dan dunia sebagai pengganti Rasul.
C.
Hak-Hak
Imam Dan Kewajiban-kewajiban
Imam
1) Hak-Hak Imam.
Al-Mawardi menyebutkan ada dua hak imam, yaitu
hak untuk di taati dan hak untuk dibantu. Akan tetapi apabila kita pelajari
sejarah, ternyata ada hak lain bagi imam, yaitu hak untuk mendapatkan imbalan
dari harta baitul mal untuk keperluan hidupnya dan keluarganya secara patut,
sesuai dengan kedudukannya sebagai imam.
Hak yang ketiga ini pada masa khalifah
Abu Bakar, di ceritakan bahwa 6 bulan setelah diangkat jadi khalifah, Abu
Bakarmasih pergi kepasar untuk berdagang dan dari hasil dagangannya itulah
beliau beliau memberi nafkah keluarganya. Kemudian para sahabat bermusyawarah,
karena tidak mungkin seorang khalifah dengan tugas yang banyak dan berat harus
masih berdagang untuk memenuhi nafkah keluarganya. Maka akhirnya di beri gaji
6.000 dirham setahun [24]dan
menurut riwayat lain di gaji 2.000 sampai 2.500 dirham [25]
Hak-hak imam ini erat sekali kaitannya dengan
kewajiban rakyat. Hak untuk di taati dan di bantu misalnya adalah kewajiban
rakyat untuk mentaati dan membantu, seperti tersurat didalam Al-Qur’an . (Qs.
An- Nisa :59). Juga didalam hadits
disebut tentang kata atau dan memberikan bantuan ini seperti :
على المرء المسلم
السمع والطاعة فيما احب او
اكره ما لم يؤمر بمعصية ، فان
امر بمعصية فلا سمع ولا طاعة
“Wajib kepada setiap muslim untuk mendengar dan taat
kepada pemimpionnya baik dia senang atau tidak senang selama pemimpin itu tidak
menyuruh melakukan maksiat. Apabila ia memerintahkan untuk melaksanakan
maksiat, maka tidak perlu mendengar dan mentaatinya.(HR. Muslim )
2)
Kewajiban-kewajiban Imam.
Sebagaimana imam mempunyai Hak, Maka imam juga
mempunyai kewajiban , yang mana Hak itu datang setelah kewajiban telah
dilaksanakan dengan baik. Ternyata tidak ada kesepakatan di antara ulama dalam
perincian kewajiban imam sebagai contoh untuk di kemuka kan, kewajiban imam
menurut Al-Mawardi adalah :
1.
Memelihara agama,
dasar-dasarnya telah di tetapkan, dan apa-apa yang telah di sepakati umat
salaf.
2.
Mentafidzkan hukum-hukum di antara orang-orang yang bersengketa, dan
menyelesaikan perselisihan, sehingga keadilan terlaksana secara umum.
3.
Memelihara dan menjaga keamanan manusia agar manusia dapat dengan
tentram dan tenang berusaha mencari kehidupan, serta dapat bepergian dengan
aman, tanpa ada gangguan terhadap jiwanya atau hartanya.
4.
Menegakkan hukum-hukum Allah, agar orang tidak berani melanggar hukum
dan memelihara hak-hak hamba dari kebinasaan dan kerusakan.
5.
Menjaga tapal batas dengan kekuatan yang cukup, agar musuh tidak berani
menyerang dan menumpahkan darah muslim atau nonmuslim yang mengadakan
perjanjian damai dengan muslim (mu’ahid)
6.
Memerangi orang yang menentang islam setelah dilakukan dakwah dengan
baik-baik tapi mereka tidak mau masuk islam dan tidak pula jadi kafir dzimmi.
7.
Memungut fay dan sedekah-sedekah sesuai dengan ketentuan syara atas
dasar nash atau ijtihad tanpa ragu-ragu
8.
Menetapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang yang berhak
menerimanya dari baitulmal dengan wajar serta membayarkannya pada waktunya.
9.
Menggunakan orang-orang yang dapat di percaya dan jujur di dalam
menyelesaikan tugas-tugas serta menyerahkan pengurusan kekayaan negara kepada
mereka. Agar pekerjaan dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli, dan harta
negara di urus orang yang jujur.
Yusuf Musa menambahkan kewajiban lain, yaitu :
Menyebarkan
ilmu dan pengetahuan, karena kemajuan umat sangat tergantung kepada ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu keduniawian[27].(Dr.Yusuf
Musa Op.hlm. 141)
Yang penting ulil amri harus menjaga dan
melindungi hak-hak rakyat dan mewujudkan hak asasi manusia, seperti hak milik,
hak hidup, hak mengemukakan pendapat dengan baik dan benar, hak mendapatkan
penghasilan yang layak , hak beragam , dan lain-lain.
D.
Syarat-Syarat dan Tugas Imam
1)
Syarat-Syarat
Imam.
Imam Mawardi memberikan batas-batas seseorang yang
boleh menjadi imam, sebagai berikut :
1)
Islam, merdeka, laki-laki, baligh dan berakal.
2)
A’dalah (adil) yaitu
selalu konsisten dalam melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi hal-hal yang
dilarang agama.
3)
Mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang mencukupi baik dalam masalah
keagamaan maupun keduniaan.
4)
Punya kepribadian yang kuat, pemberani dan tidak mudah menyerah.
2)
Tugas-Tugas Imam.
Dalam
memimpin sebuah Negara, seorang imam mempunyai tugas-tugas yang harus
dilaksanakan guna mencapai kemakmuran Negara dan Rakyatnya. Para Ulama memberikan
cakupan tentang tugas tugas yang menjadi kewajiban imam.
1.
Menjaga dan melestarikan hukum-hukum keagamaan, lebih-lebih yang
menyangkut aqidah serta membrantas tindakan-tindakan yang berbau bid’ah dan keluar
dari syari’at Islam.
2.
Memerangi musuh yang mengancam keamanan Negara dan bangsa.
3.
Mengatur pemasukan dan pengeluaran keuangan Negara, seperti ghanimah,
fai’, dan shadaqah wajib.
4.
Menjaga keamanan dan keadilan warganya.
E.
Tata Cara Pengangkatan Imam
Ditinjau
dari pendekatan historis, dalam pengangkatan kepala Negara Umat Islam mempunyai
beberapa tata cara :
1.
Intikhab (Pemilihan
Langsung)
Tata cara
dengan pemilihan langsung terjadi pada masa khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abi
Thalib. Sejarah telah mencatat bahwa tidak ada orang yang menolak pengangkatan
Imam dengan pemilihan langsung. Hanya saja dengan pemilihan harus diserahkan
sepenuhnya kepada Ahlul Halli wal Aqdi.
Ahlul Halli
wal Aqdi adalah suatu lembaga yang beranggotakan orang-orang yang mempunyai pengetahuan
agama, budi pekerti, dan ilmu yang memadai dalam mengatur masalah-masalah
kemasyarakatan. Dlam pemerintahan Islam mereka juga disebut dengan ”Ahlul
ikhtiyar” (orang-orang yang bertugas memilih imam dengan menggantikan hak
pilih yang dimiliki rakyat), “Ahlus Syura” (lembaga permusyawaratan), dan “Ahlut
Tadbir” (lembaga yang mengatur maslah-maslah kemasyarakatan).
Dalam
menentukan jumlah Ahlul Halli wal Aqdi para ulama mempunyai beraneka ragam
pendapat. Akan tetapi secara subtansial Ahlul Halli wal Aqdi adalah penyambung
lidah rakyat. Sesuatu yang sudah menjadi pilihan dan keinginan rakyat akan
disalurkan dan dimanifestasikan lewat mereka. Oleh sebab itu, syri’at dalam
memberi batasan dan memasukkan kriteria-kriteria Ahlul Halli wal Aqdi sangat
ketat. Imam Mawardi memberikan syarat-syarat Ahlul Halli wal Aqdi sebagai
berikut:
a)
A’dalah, yaitu karakter untuk selalu konsisten menjaga ketaqwaan dan
muru’ah (harga diri).
b)
Mempunyai ilmu yang bisa digunakan untuk mengetahui pribadi seseorang
yang berhak menjadi imam.
c)
Mempunyai pendapat dan kebijaksanaan dalam mengatur kepemerintahan dan
memecahkan masalah-masalah sosial kewarganegaraan.
Tugas-tugas Ahlul halli wal
Aqdi :
1)
Memilih kepala Negara dan membaiatnya (melantiknya).
2)
Mengklasifikasi para kandidat Imam yang sudah memenuhi kriteria.
3)
Memilih Imam yang kelak akan lebih banyak memberikan kemanfaatan dan
kemakmuran untuk Umat.
4)
Menurunkan dan mencopot Imam dari jabatannya ketika ada hal-hal yang
menyebabkan Imam diganti.
2.
Istikhlaf (Mencari
Pengganti)
Istikhlaf adalah proses pengangkatan dari Imam lam kepada Imam
baru dan dianggap memiliki kopetensi dalam memgang dan memimoin sebuah Negara
denga mendapat persetujuan dari Ahlull Halli wal Aqdi. Istikhlaf juga sering
disebut dengan Al’Ahdu atau Washiat. Dalam sejarah tata cara proses
pengangkatan seperti ini terjadi pada masa khalifah Abu Bakar dalam memilih
Umar untuk menggantikannya. Imam Nawawi dalam Shahih Muslim menyatakan bahwa
kaum muslimin telah sepakat jika seorang khalifah merasa akan mendekati ajal
maka dia diperkenankan untuk mencari pengganti orang lain dengan mengikuti Abu
Bakar, atau mengikuti jejak Rasul dengan tidak mencari pengganti.
3.
Qahru wal Ghalabah (kudeta)
Qahru wal Ghalabah adalah tata cara proses pengangkatan Imam yang
disepakati oleh Ulama. Sebenarnya model ketiga ini adalah tata cara yang tidak
dilegalkan oleh syari’at. Akan tetapi hal ini diperbolehkan hanya untuk menjaga
kemaslahatan umat Islam dan menjaga terjadinya pertumpahan darah diantara
mereka. Dalam hal ini imam Syafii mengatakan “barang siapa yang mampu
mengkudeta seorang khalifah walaupun dengan kekerasan dan pedang sedangkan
rakyat mengakuinya sebagai khalifah maka dia bisa dinamakan dengan khalifah”.
Hanya saja ketika yang melakukan kudeta adalah orang kafir maka bagi seluruh
Umat Muslim di Negara itu wajib untuk memeranginya karena syarat beragama Islam
selamanya harus dipenuhi oleh orang yang menjadi imam.
F.
WIZARAH (MENTERI)
Wizarah dalam konsep negara islam adalah
jabatan yaang punya kekuasaan menyeluruh sebagai pengganti Imam dalam segala
hal urusan dengan tanpa ada batasan. Pada masa Rasulullah dan Khulafaur
Rasyidin istilah Wizarah masih belum di temukan. Dalam menjalankan roda
pemerintahan kepala negara (Nabidan Khulafaur Rasyidin) di bantu oleh para
sahabat. Baru pada masa dinasti Abasyiah istilah Wizarah di pakai yang di ambil
dari dari Negara Persia. Imam Mawardi membagi Wizarah menjadi dua bagian :
1.
Wizaratul tafwidz yaitu
seseorang yang diberi wewenang penuh oleh imam untuk mengatur dan menyelesaikan
masalah dari hasil pendapat dan pemikirannya sendiri. Jabatan ini hampir
menyamai dengan kedudukan Khalifah, dikarenakan seorang Wazir punya wewenang
sebagaimana wewenang yang telah dimiliki oleh imam. Seperti merancang
hukum-hukum ketatanegaraan, memutuskan urusan-urusan peradilan, memimpin
tentara, mengangkat panglima dan lain-lain. Secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa setiap sesuatu yang berhak dilakukan oleh imam, wazir juga
berhak melakukannya, kecuali tiga hal
a)
Imam berhak memberikan jabatannya kepada orang yang sudah menjadi
pilihannya.
b)
Imam berhak untuk mengahapus imam
baru pada masa kekuasaannya.
c)
Imam berhak memecat bawahan wazir tapi bagi wazir tidak berhak memecat
orang-orang bawahan imam.
2.
Wizaratut tanfidz yaitu
sesorang yang bertugas untuk merealisasikan dan meneruskan pendapat dan
kebijakan imam. Jabatan ini derajatnya lebih rendah dari wizaratut tafwidz.
Seseorang ketika menduduki jabatan ini maka dia tidak berhak untuk membuat kebijakan
sendiri, kalaupun dia hendak memutuskansuatu urusan dalam yang berkaitan dengan
pemerintahan maka dia harus mengajukan pendapatnya terlebih dahulu kepada imam
untuk mendapatkan persetujuan.
G. Al-Ru’ayah /Ra’iyyah
Al-Ru’ayah/Ra’iyyah berarti rakyat atau orang yang dipimpin.
Dengan demikian al-Ru’ayah adalah masyarakat yang hidup
dalam sebuah negara yang dipimpin oleh seorang kepala negara atau imam atau
khalifah. Keberhasilan membangun masyarakat yang aman, damai dan sejahtera,
tidak hanya di tentukan oleh imamah
atau pemimpin yang baik saja. Tetapi al-Ru’ayah atau orang yang dipimpinnya
(rakyat). Al-Imamah atau pemimpin
juga wajib memberikan kepemimpinannya secara baik, sedangkan al-Ru’ayah atau
rakyat wajib mengikutinya. Kewajiban al-Ru’ayah antara lain sebagai berikut
yaitu pertama, menaati pemimpin apabila benar. Ciri rakyat yang baik adalah
pertama, mereka mau menaati pemimpinnya. Rakyat tidak menaati pemimpin (padahal
ia benar), berarti telah berkhianat kepada pemimpinnya. Seperti yang telah dijelaskan
di dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59 yang artinya bahwa orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Ulil
amri berarti orang yang memegang kekuasaan di antara kaum muslimin itu
sendiri. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk tidak menaati pemimpin selama
ia benar. Kedua, mengingatkan pemimpin jika bersalah. Kewajiban taat kepada
pemimpin ialah ketika pemimpin menyuruh kepada kebaikan sesuai dengan hukum
Allah dan Rasulnya. Apabila pemimpin berbuat salah maka rakyat wajib
memperingatinya.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa fiqih siyasah adalah salah satu kajian yang membahas tentang sistem ketatanegaraan, yang berkaitan dan untuk kemaslahatan umat
Bermacam-macam istilah
pemimpin dalam islam, baik dengan sebutan imam, khilafah atau imarah, semua
mempunyai tugas, hak dan kewajiban.
Ruayyah adalah masyarakat
yang hidup dalam sebuah negara yang dipimpin oleh seorang kepala negara atau
imam atau khalifah, yang mana mereka mempunyai kewajiban mematuhi pemimpinnya.
B. PENUTUP
Itulah tadi makalah dari kami
tentang “Fiqh Siyasah, Imamah dan Raiyyah”
Semoga
dengan makalah ini dapat menambah wawasan keilmuan kita serta dapat membawa
manfaat yang sebesar-besarnya untuk kehidupan kita khususnya dalam beragama
islam .
Akhir
kata atas perhatiannya kami ucapkan terimaksih..Wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
[4] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, . vol. 6 (Beirut: Dar Shadir, t.th, hlm.
108); Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi, al-Mishbah al-Munir, (Beirut: al-Maktabah
al-‘Ilmiyyah, t.th), hlm. 295.
[5]Sulaiman bin Muhammad
al-Bujairimi, Hasyiah al-Bujairimi ‘ala al-Manhaj, Mushthafa al-Babi al-Halabi,
Bulaq, t.th., vol. 2, hlm. 178.
[6] Wuzarat al-Awqaf wa al-Syu’un
al-Islamiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausu'at al-Fiqhiyyah, (Kuwait: Wuzarat al-Awqaf
al-Kuwaitiyyah, t.th.), vol. 25, hlm. 295.
[7] Ibn ‘Abidin, Radd al-Muhtar
‘ala al-Durr al-Mukhtar, (Beirut:
Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, , 1987, vol. 3), hlm. 147.
[8] ‘Ali bin Muhammad
al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2006), hlm. 4; Muhammad Iqbal, Fiqh
Siyasah, (JakartaL: Gaya
Media Pratama, 2007), hlm.13.
[17]Rasyid Ridha, Al-Khilafat aw al-Imamat
al-U’zhmat,Al-Manar, Al-Qahirat, Bairut, 1973, hlm. 192
[19]Abu Ja’far
bin Muhammad bin jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qura’an, vol. I,Juz 1, hlm. 199.
[20] T.W. Arnold,
“Khalifa” dalam M.T.H. Houstma, Firts Encyclopedia of Islam,VOL.I,E.J. Brill,Leiden,1987, hlm.881.
[23]
Hasan Shadly (Pem, Red. Umum), ensiklopedi Indonesia,
Jilid III, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1982, hlm. 1769.
[24] . Dr. Abdul qadir Audah, Al-Islam wa Audlo’una
Asiyasiyah, Darul Kitab al-Arabi, Al-Qahirah, 1951, hlm.189
[26] . Abu Hasan
al-Mawardi,Al-Ahkam Asulthaniyah Wal Wilayatuh al-Diniyah,Musthafa
al-Asabil Halabi,Mesir, cet III. Hlm 15-16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar