Minggu, 01 Maret 2015

fiqih siyasah








Hubungan agama dan politik menjadi topik pembicaraan menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh golongan yang berpandangan sekuler.
Munculnya masalah tersebut dipandang wajar disebabkan karena risalah islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah agama yang penuh dengan ajaran dan undang-undang yang bertujuan membangun manusia guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Permasalahan pertama yang dipersoalkan oleh generasi pertama umat islam sesudah Rasulullah Wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau.
Maka dari itu masalah ini akan diuraikan dan dikaji dalam makalah ini sehingga dapat menambah wawasan para pembaca tentang keislaman.
1.              Apa yang dimaksud dengan Fiqh Siyasah ?
2.      Apa yang dimaksud dengan istilah – istilah berikut :
a.       Khilafah (Khalifah)
b.      Imamah (Imam)
c.       Imarah (Amir)
d.      Wizarah (Menteri)
e.       Al Ruayaah /Raiyyah

            Untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqih”serta menambah ilmu penulis tentang ketatanegaraan serta kepemimpinanan dalam islam.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Fiqh Siyasah Dan Ruang Lingkup Fiqih Siyasah
1)      Pengertian Fiqh Siyasah.
Kata fiqh siyasah yang tulisan bahasa Arabnya adalah “الفقه السياسي” berasal dari dua kata yaitu kata fiqh (الفقه) dan yang kedua adalah al-siyasi (السياسي). Kata fiqh secara bahasa adalah paham. Ini seperti yang diambil dari ayat Alquran

                               (قالوا يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول)[1],
yang artinya : bahwa kaum berkata: Wahai Syu’aib, kami tidak memahami banyak dari apa yang kamu bicarakan.[2]
Secara istilah, menurut ulama usul, kata fiqh berarti:

               (العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية)
 yaitu mengerti hukum-hukum syariat yang sebangsa amaliah yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci”.[3] Sedangkan al-siyasi, secara bahasa berasal dari ساس – يسوس – سياسة yang memiliki arti mengatur (أمر/دبّر), seperti di dalam hadis

                                                                  كان بنو إسرائيل يسوسهم أنبياؤهم
 أي تتولى أمورهم كما يفعل الأمراء والولاة بالرعية,
 yang berarti bahwa adanya Bani Israil itu diatur oleh nabi-nabi mereka, yaitu nabi mereka memimpin permasalahan mereka seperti apa yang dilakukan pemimpin pada rakyatnya.
Bisa juga seperti kata-kata ساس زيد الأمر أي يسوسه سياسة أي دبره وقام بأمره yang artinya bahwa Zaid mengatur sebuah perkara yaitu Zaid mengatur dan mengurusi perkara tersebut. Sedangkan kata mashdar-nya yaitu siyasah itu secara bahasa bermaknaالقيام على الشيء بما يصلحه” yang artinya “bertindak pada sesuatu dengan apa yang patut untuknya.[4]
Apabila digabungkan kedua kata fiqh dan al-siyasi maka fiqh siyasah yang juga dikenal dengan nama siyasah syar’iyyah secara istilah memiliki berbagai arti yaitu pertama, menurut Imam al-Bujairimi bahwa memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur mereka dengan cara memerintah mereka untuk mereka dengan sebab ketaatan mereka terhadap pemerintahan.[5] Kedua, menurut Wuzarat al-Awqaf wa al-Syu’ûn al-Islamiyyah bi al-Kuwait bahwa memperbagus kehidupan manusia dengan menunjukkan pada mereka pada jalan yang dapat menyelamatkan mereka pada waktu sekarang dan akan datang, serta mengatur permasalahan mereka.[6] Menurut Imam Ibn ‘Abidin bahwa kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukkannya kepada jalan yang menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Siyasah berasal dari Nabi, baik secara khusus maupun secara umum, baik secara lahir, maupun batin. Segi lahir, siyasah berasal dari para sultan (pemerintah), bukan lainnya. Sedangkan secara batin, siyasah berasal dari ulama sebagai pewaris Nabi bukan dari pemegang kekuasaan.[7]
2)      Ruang Lingkup Fiqih Siyasah.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menentukan ruang lingkup kajian fiqh siyasah. Menurut Imam al-Mawardi, seperti yang dituangkan di dalam karangan fiqh siyasah-nya yaitu al-Ahkam al-Sulthaniyyah, maka dapat diambil kesimpulan ruang lingkup fiqh siyasah adalah sebagai berikut yaitu pertama, siyasah dusturiyyah. Kedua, siyasah maliyyah. Ketiga, siyasah qadla`iyyah. Keempat, siyasah harbiyyah, dan kelima, siyasah `idariyyah. [8] Sedangakan menurut Imam Ibn Taimiyyah, di dalam kitabnya yang berjudul al-Siyasah al-Syar’iyyah, ruang lingkup fiqh siyasah adalah sebagai berikut yaitu pertama, siyasah qadla`iyyah. Kedua, siyasah `idariyyah. Ketiga, siyasah maliyyah, dan keempat, siyasah dauliyyah/siyasah kharijiyyah.[9]Sementara Abd al-Wahhab Khalaf lebih mempersempitnya menjadi tiga bidang kajian saja, yaitu pertama, siyasah qadla`iyyah . Kedua, siyasah dauliyyah , dan ketiga, siyasah maliyyah .[10] Salah satu dari ulama terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, malah membagi ruang lingkup fiqh siyasah menjadi delapan bidang berserta penerangannya, yaitu pertama, siyasah dusturiyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tentang peraturan perundang-undangan. Kedua, siyasah tasyri’iyyah syar’iyyah (kebijaksanaan tetang penetapan hukum). Ketiga, siyasah qadla`iyyah syar’iyyah (kebijaksanaan peradilan). Keempat, siyasah maliyyah syar’iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter). Kelima, siyasah `idariyyah syar’iyyah (kebijaksanaan administrasi negara). Keenam, siyasah dauliyyah/siyasah kharijiyyah syar’iyyah (kebijaksanaan          hubungan  luar negeri atau internasional). Ketujuh, siyasah tanfidziyyah syar’iyyah (politik pelaksanaan undang-undang), dan kedelapan, siyasah harbiyyah  syar’iyyah (politik peperangan). [11]
B.     Khilafah, Imamah, dan Imarah.
       Kata khilafah diturunkan dari kata khalafa, yang berarti seseorang yang menggantikan orang lain sebagai penggantinya[12]. Seperti Musa berkata kepada saudaranya yaitu Harun : “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku” (al-Qur’an). [13]Istilah khilafah adalah sebutan untuk masa pemerintahan khalifah. Dalam sejarah, khilafah sebutan bagi suatu pemerintahan pada masa tertentu, seperti Khilafah Abu Bakar, Khilafah Umar bin Khattab dan seterusnya, untuk melaksanakan wewenang yang diamanahkan kepada mereka. Dalam konteks ini, kata khilafat bisa mempunyai arti sekunder atau arti bebas, yaitu pemerintahan[14], atau institusi pemerintah dalam sejarah Islam. Kata khilafat sama pula dengan kata imamah yang berarti keimanan, kepemimpinan, pemerintahan, dan dengan kata imarah yang berarti keamiran, pemerintahan. [15]Imarah sebutan untuk jabatan amir dalam suatu Negara kecil yang berdaulat untuk melaksanakan pemerintahan oleh seorang amir[16]. Analogi ketiga kata tersebut Nampak pula dalam penggunaannya di dalam kitab fiqih siyasah. Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkam Al-Sulthaniyat menggunakannya secara bergantian. Tapi istilah khilafah dan imamah, lebih popular pemakainnya dalam berbagai literatur ulama fikih dari pada istilah imarah. Muhammad Rasyid Ridha juga memberikan pengertian yang sama kepada kata khilafah, imamah, dan imarah, yaitu suatu pemerintahan untuk menegakkan agama dan urusan dunia.[17]
            Dalam uraian di atas tampak, kata khilafah yang berakar pada kata khalafa, mengalami perkembangan arti dari arti asli kepada arti lain yaitu pemerintahan. Demikian pula istilah imamah. Perkembangan ini tidak lepas dari penyebutan istilah-istilah itu dalam sejarah bagi seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakan wewenang dalam hal mengurus kepentingan masyarakat.
            Khilafah menurut Ibn Khaldun adalah “tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syariat. Hakikatnya, sebagai pengganti fungsi pembuat syariat (Rasulullah SAW) dalam memelihara urusan agama dan mengatur politik keduniaan[18].  Pengertian ini sama pula dengan imamah secara istilah. Imamah adalah “kepemimpinan menyeluruh yang berkaitan dengan urusan keagamaan dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi Rasulullah SAW.”  Senada dengan ini dikemukakan oleh Al-taftazani sebagai dikutip oleh Rasid Ridha  yaitu “imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia yakni suatu khilafah yang diwarisi dari Nabi.” Demikian pula pendapat Al-Mawardi: “Imamah dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.”
            Seseorang yang melakasanakan fungsi kekhalifahan, keimaman dan keamiran dalam sejarah Islam disebut khalifah, imam dan amir. Arti  kata khalifah, yang bentuk kata jama’ nya adalah khulafa’ dan khalaif yang berasal dari kata khalafa, adalah “pengganti” yaitu “seseorang yang menggantikan tempat orang lain dalam beberapa persoalan.” [19]Kata ini telah mengalami perkembangan arti, baik arti khusus maupun umum. Dalam kamus dan ensiklopedi berbahasa inggris Khalifah berarti “wakil” (deputy), “pengganti” (successor), “penguasa” (vicegerent), “titel bagi pemimpin tertinggi komunitas muslim” (title of the supreme head of the Muslim community) sebagai pengganti Nabi (khalifah Rasul Allah). [20]Khalifah bisa pula berarti “penguasa besar atau paling tinggi” (al-sulthan al-a’zham). [21]M.H Abbas mengartikannya dengan “pengganti Nabi” (The successor of the Holy Prophet)[22]. Dalam ensiklopedi Indonesia, khalifah adalah istilah ketatanegaraan Islam, dan berarti kepala negara atau pemimpin tertinggi umat Islam.[23]
            Menurut istilah, dan dalam kenyataan sejarah, khalifah adalah “pemimpin yang menggantikan Nabi dalam tanggung jawab umum terhadap pengikut agama ini untuk membuat manusia tetap mengikuti undang-undangNya yang mempersamakan orang lemah, orang kuat, orang mulia dan orang hina di depan kebenaran sebagai khalifah Rasul dalam memelihara agama dan mengatur dunia.” Al-Maududi juga mengatakan: “Khalifah adalah pemimpin tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasul.
           

C.    Hak-Hak Imam Dan Kewajiban-kewajiban Imam
1) Hak-Hak Imam.
                   Al-Mawardi menyebutkan ada dua hak imam, yaitu hak untuk di taati dan hak untuk dibantu. Akan tetapi apabila kita pelajari sejarah, ternyata ada hak lain bagi imam, yaitu hak untuk mendapatkan imbalan dari harta baitul mal untuk keperluan hidupnya dan keluarganya secara patut, sesuai dengan kedudukannya sebagai imam.
           Hak yang ketiga ini pada masa khalifah Abu Bakar, di ceritakan bahwa 6 bulan setelah diangkat jadi khalifah, Abu Bakarmasih pergi kepasar untuk berdagang dan dari hasil dagangannya itulah beliau beliau memberi nafkah keluarganya. Kemudian para sahabat bermusyawarah, karena tidak mungkin seorang khalifah dengan tugas yang banyak dan berat harus masih berdagang untuk memenuhi nafkah keluarganya. Maka akhirnya di beri gaji 6.000 dirham setahun  [24]dan menurut riwayat lain di gaji 2.000 sampai 2.500 dirham   [25]
           Hak-hak imam ini erat sekali kaitannya dengan kewajiban rakyat. Hak untuk di taati dan di bantu misalnya adalah kewajiban rakyat untuk mentaati dan membantu, seperti tersurat didalam Al-Qur’an . (Qs. An- Nisa :59). Juga didalam hadits  disebut tentang kata atau dan memberikan bantuan ini seperti :
على  المرء  المسلم  السمع  والطاعة  فيما احب او  اكره ما لم  يؤمر  بمعصية ، فان  امر  بمعصية  فلا سمع ولا طاعة                                                                                           
“Wajib kepada setiap muslim untuk mendengar dan taat kepada pemimpionnya baik dia senang atau tidak senang selama pemimpin itu tidak menyuruh melakukan maksiat. Apabila ia memerintahkan untuk melaksanakan maksiat, maka tidak perlu mendengar dan mentaatinya.(HR. Muslim )
2)      Kewajiban-kewajiban Imam.
         Sebagaimana imam mempunyai Hak, Maka imam juga mempunyai kewajiban , yang mana Hak itu datang setelah kewajiban telah dilaksanakan dengan baik. Ternyata tidak ada kesepakatan di antara ulama dalam perincian kewajiban imam sebagai contoh untuk di kemuka kan, kewajiban imam menurut Al-Mawardi adalah :
1.       Memelihara agama, dasar-dasarnya telah di tetapkan, dan apa-apa yang telah di sepakati umat salaf.
2.      Mentafidzkan hukum-hukum di antara orang-orang yang bersengketa, dan menyelesaikan perselisihan, sehingga keadilan terlaksana secara umum.
3.      Memelihara dan menjaga keamanan manusia agar manusia dapat dengan tentram dan tenang berusaha mencari kehidupan, serta dapat bepergian dengan aman, tanpa ada gangguan terhadap jiwanya atau hartanya.
4.      Menegakkan hukum-hukum Allah, agar orang tidak berani melanggar hukum dan memelihara hak-hak hamba dari kebinasaan dan kerusakan.
5.      Menjaga tapal batas dengan kekuatan yang cukup, agar musuh tidak berani menyerang dan menumpahkan darah muslim atau nonmuslim yang mengadakan perjanjian damai dengan muslim (mu’ahid)
6.      Memerangi orang yang menentang islam setelah dilakukan dakwah dengan baik-baik tapi mereka tidak mau masuk islam dan tidak pula jadi kafir dzimmi.
7.      Memungut fay dan sedekah-sedekah sesuai dengan ketentuan syara atas dasar nash atau ijtihad tanpa ragu-ragu
8.      Menetapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang yang berhak menerimanya dari baitulmal dengan wajar serta membayarkannya pada waktunya.
9.      Menggunakan orang-orang yang dapat di percaya dan jujur di dalam menyelesaikan tugas-tugas serta menyerahkan pengurusan kekayaan negara kepada mereka. Agar pekerjaan dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli, dan harta negara di urus orang yang jujur.
10.  Melaksanakan sendiri tugas-tugasnya yang langsung di dalam membina umat dan menjaga agama[26]
Yusuf Musa menambahkan kewajiban lain, yaitu :
 Menyebarkan ilmu dan pengetahuan, karena kemajuan umat sangat tergantung kepada ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu keduniawian[27].(Dr.Yusuf Musa Op.hlm. 141)
          Yang penting ulil amri harus menjaga dan melindungi hak-hak rakyat dan mewujudkan hak asasi manusia, seperti hak milik, hak hidup, hak mengemukakan pendapat dengan baik dan benar, hak mendapatkan penghasilan yang layak , hak beragam , dan lain-lain.
D.    Syarat-Syarat dan Tugas Imam
1)       Syarat-Syarat Imam.
Imam Mawardi memberikan batas-batas seseorang yang boleh menjadi imam, sebagai berikut :
1)      Islam, merdeka, laki-laki, baligh dan berakal.
2)      A’dalah (adil) yaitu selalu konsisten dalam melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi hal-hal yang dilarang agama.
3)      Mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang mencukupi baik dalam masalah keagamaan maupun keduniaan.
4)      Punya kepribadian yang kuat, pemberani dan tidak mudah menyerah.
2)      Tugas-Tugas Imam.
Dalam memimpin sebuah Negara, seorang imam mempunyai tugas-tugas yang harus dilaksanakan guna mencapai kemakmuran Negara dan Rakyatnya. Para Ulama memberikan cakupan tentang tugas tugas yang menjadi kewajiban imam.
1.      Menjaga dan melestarikan hukum-hukum keagamaan, lebih-lebih yang menyangkut aqidah serta membrantas tindakan-tindakan yang berbau bid’ah dan keluar dari syari’at Islam.
2.      Memerangi musuh yang mengancam keamanan Negara dan bangsa.
3.      Mengatur pemasukan dan pengeluaran keuangan Negara, seperti ghanimah, fai’, dan shadaqah wajib.
4.      Menjaga keamanan dan keadilan warganya.

E.     Tata Cara Pengangkatan Imam

Ditinjau dari pendekatan historis, dalam pengangkatan kepala Negara Umat Islam mempunyai beberapa tata cara :
1.      Intikhab (Pemilihan Langsung)
Tata cara dengan pemilihan langsung terjadi pada masa khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Sejarah telah mencatat bahwa tidak ada orang yang menolak pengangkatan Imam dengan pemilihan langsung. Hanya saja dengan pemilihan harus diserahkan sepenuhnya kepada Ahlul Halli wal Aqdi.
Ahlul Halli wal Aqdi adalah suatu lembaga yang beranggotakan orang-orang yang mempunyai pengetahuan agama, budi pekerti, dan ilmu yang memadai dalam mengatur masalah-masalah kemasyarakatan. Dlam pemerintahan Islam mereka juga disebut dengan ”Ahlul ikhtiyar” (orang-orang yang bertugas memilih imam dengan menggantikan hak pilih yang dimiliki rakyat), “Ahlus Syura”  (lembaga permusyawaratan), dan “Ahlut Tadbir” (lembaga yang mengatur maslah-maslah kemasyarakatan).
Dalam menentukan jumlah Ahlul Halli wal Aqdi para ulama mempunyai beraneka ragam pendapat. Akan tetapi secara subtansial Ahlul Halli wal Aqdi adalah penyambung lidah rakyat. Sesuatu yang sudah menjadi pilihan dan keinginan rakyat akan disalurkan dan dimanifestasikan lewat mereka. Oleh sebab itu, syri’at dalam memberi batasan dan memasukkan kriteria-kriteria Ahlul Halli wal Aqdi sangat ketat. Imam Mawardi memberikan syarat-syarat Ahlul Halli wal Aqdi sebagai berikut:
a)      A’dalah, yaitu karakter untuk selalu konsisten menjaga ketaqwaan dan muru’ah (harga diri).
b)      Mempunyai ilmu yang bisa digunakan untuk mengetahui pribadi seseorang yang berhak menjadi imam.
c)      Mempunyai pendapat dan kebijaksanaan dalam mengatur kepemerintahan dan memecahkan masalah-masalah sosial kewarganegaraan.
Tugas-tugas Ahlul halli wal Aqdi :
1)      Memilih kepala Negara dan membaiatnya (melantiknya).
2)      Mengklasifikasi para kandidat Imam yang sudah memenuhi kriteria.
3)      Memilih Imam yang kelak akan lebih banyak memberikan kemanfaatan dan kemakmuran untuk Umat.
4)      Menurunkan dan mencopot Imam dari jabatannya ketika ada hal-hal yang menyebabkan Imam diganti.
2.      Istikhlaf (Mencari Pengganti)
Istikhlaf adalah proses pengangkatan dari Imam lam kepada Imam baru dan dianggap memiliki kopetensi dalam memgang dan memimoin sebuah Negara denga mendapat persetujuan dari Ahlull Halli wal Aqdi. Istikhlaf juga sering disebut dengan Al’Ahdu atau Washiat. Dalam sejarah tata cara proses pengangkatan seperti ini terjadi pada masa khalifah Abu Bakar dalam memilih Umar untuk menggantikannya. Imam Nawawi dalam Shahih Muslim menyatakan bahwa kaum muslimin telah sepakat jika seorang khalifah merasa akan mendekati ajal maka dia diperkenankan untuk mencari pengganti orang lain dengan mengikuti Abu Bakar, atau mengikuti jejak Rasul dengan tidak mencari pengganti.
3.      Qahru wal Ghalabah (kudeta)
Qahru wal Ghalabah adalah tata cara proses pengangkatan Imam yang disepakati oleh Ulama. Sebenarnya model ketiga ini adalah tata cara yang tidak dilegalkan oleh syari’at. Akan tetapi hal ini diperbolehkan hanya untuk menjaga kemaslahatan umat Islam dan menjaga terjadinya pertumpahan darah diantara mereka. Dalam hal ini imam Syafii mengatakan “barang siapa yang mampu mengkudeta seorang khalifah walaupun dengan kekerasan dan pedang sedangkan rakyat mengakuinya sebagai khalifah maka dia bisa dinamakan dengan khalifah”. Hanya saja ketika yang melakukan kudeta adalah orang kafir maka bagi seluruh Umat Muslim di Negara itu wajib untuk memeranginya karena syarat beragama Islam selamanya harus dipenuhi oleh orang yang menjadi imam.


F.     WIZARAH (MENTERI)
   Wizarah dalam konsep negara islam adalah jabatan yaang punya kekuasaan menyeluruh sebagai pengganti Imam dalam segala hal urusan dengan tanpa ada batasan. Pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin istilah Wizarah masih belum di temukan. Dalam menjalankan roda pemerintahan kepala negara (Nabidan Khulafaur Rasyidin) di bantu oleh para sahabat. Baru pada masa dinasti Abasyiah istilah Wizarah di pakai yang di ambil dari dari Negara Persia. Imam Mawardi membagi Wizarah menjadi dua bagian :
1.      Wizaratul tafwidz yaitu seseorang yang diberi wewenang penuh oleh imam untuk mengatur dan menyelesaikan masalah dari hasil pendapat dan pemikirannya sendiri. Jabatan ini hampir menyamai dengan kedudukan Khalifah, dikarenakan seorang Wazir punya wewenang sebagaimana wewenang yang telah dimiliki oleh imam. Seperti merancang hukum-hukum ketatanegaraan, memutuskan urusan-urusan peradilan, memimpin tentara, mengangkat panglima dan lain-lain. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa setiap sesuatu yang berhak dilakukan oleh imam, wazir juga berhak melakukannya, kecuali tiga hal
a)      Imam berhak memberikan jabatannya kepada orang yang sudah menjadi pilihannya.
b)       Imam berhak untuk mengahapus imam baru pada masa kekuasaannya.
c)      Imam berhak memecat bawahan wazir tapi bagi wazir tidak berhak memecat orang-orang bawahan imam.
2.      Wizaratut tanfidz yaitu sesorang yang bertugas untuk merealisasikan dan meneruskan pendapat dan kebijakan imam. Jabatan ini derajatnya lebih rendah dari wizaratut tafwidz. Seseorang ketika menduduki jabatan ini maka dia tidak berhak untuk membuat kebijakan sendiri, kalaupun dia hendak memutuskansuatu urusan dalam yang berkaitan dengan pemerintahan maka dia harus mengajukan pendapatnya terlebih dahulu kepada imam untuk mendapatkan persetujuan.
G.  Al-Ru’ayah /Ra’iyyah
Al-Ru’ayah/Ra’iyyah  berarti rakyat atau orang yang dipimpin. Dengan demikian al-Ru’ayah adalah masyarakat yang hidup dalam sebuah negara yang dipimpin oleh seorang kepala negara atau imam atau khalifah. Keberhasilan membangun masyarakat yang aman, damai dan sejahtera, tidak hanya di tentukan oleh imamah atau pemimpin yang baik saja. Tetapi al-Ru’ayah atau orang yang dipimpinnya (rakyat). Al-Imamah atau pemimpin juga wajib memberikan kepemimpinannya secara baik, sedangkan al-Ru’ayah atau rakyat wajib mengikutinya. Kewajiban al-Ru’ayah antara lain sebagai berikut yaitu pertama, menaati pemimpin apabila benar. Ciri rakyat yang baik adalah pertama, mereka mau menaati pemimpinnya. Rakyat tidak menaati pemimpin (padahal ia benar), berarti telah berkhianat kepada pemimpinnya. Seperti yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59 yang artinya bahwa orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Ulil amri berarti orang yang memegang kekuasaan di antara kaum muslimin itu sendiri. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk tidak menaati pemimpin selama ia benar. Kedua, mengingatkan pemimpin jika bersalah. Kewajiban taat kepada pemimpin ialah ketika pemimpin menyuruh kepada kebaikan sesuai dengan hukum Allah dan Rasulnya. Apabila pemimpin berbuat salah maka rakyat wajib memperingatinya.








BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa fiqih siyasah adalah salah satu kajian yang membahas tentang sistem ketatanegaraan, yang berkaitan dan untuk kemaslahatan umat
Bermacam-macam istilah pemimpin dalam islam, baik dengan sebutan imam, khilafah atau imarah, semua mempunyai tugas, hak dan kewajiban.
Ruayyah adalah masyarakat yang hidup dalam sebuah negara yang dipimpin oleh seorang kepala negara atau imam atau khalifah, yang mana mereka mempunyai kewajiban mematuhi pemimpinnya.
B.     PENUTUP

            Itulah tadi makalah dari kami tentang “Fiqh Siyasah, Imamah dan Raiyyah”
Semoga dengan makalah ini dapat menambah wawasan keilmuan kita serta dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya untuk kehidupan kita khususnya dalam beragama islam .
Akhir kata atas perhatiannya kami ucapkan terimaksih..Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh













[1] Alquran, 11:91.
[2] Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-`Islami, , (Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), vol. 1, hlm. 18.
[3] Ibid., hlm. 19.
[4] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, . vol. 6 (Beirut: Dar Shadir, t.th, hlm. 108); Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi, al-Mishbah al-Munir, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th), hlm. 295.
[5]Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi, Hasyiah al-Bujairimi ‘ala al-Manhaj, Mushthafa al-Babi al-Halabi, Bulaq, t.th., vol. 2, hlm. 178.
[6] Wuzarat al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausu'at al-Fiqhiyyah, (Kuwait: Wuzarat al-Awqaf al-Kuwaitiyyah,  t.th.), vol. 25, hlm. 295.
[7] Ibn ‘Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, , 1987, vol. 3), hlm. 147.
[8] ‘Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2006), hlm. 4; Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (JakartaL: Gaya Media Pratama, 2007), hlm.13.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] H. A. Djazuli, op.cit., hlm. 30.
                    [12] Ibn Manzhur,Lisan Al-Arab,Vol.IX,DarShadir,Beirut,1998/1396,hlm.83.
                    [13] Thomas Patric Hughes,Dictionary of Islam,Oreintal Bokoks Print Corporation,New Delhi, 1976, hlm.270.
                    [14] ibid
 [15] Moh. E. Hasim, Kamus Istilah Islam,Penerbit Pustaka, Bandung, 1978, hlm. 55.
                   [16] Lois Ma’luf, Al-Munjid Fi al-Lughat wa al-A’lam,Dar al-Masyriq, Bairut, 1973, hlm. 192.
[17]Rasyid Ridha, Al-Khilafat aw al-Imamat al-U’zhmat,Al-Manar, Al-Qahirat, Bairut, 1973, hlm. 192
                [18] Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimat, Dar al-Fikr,hlm.134.
[19]Abu Ja’far bin Muhammad bin jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qura’an, vol. I,Juz 1, hlm. 199.
[20] T.W. Arnold, “Khalifa” dalam M.T.H. Houstma, Firts Encyclopedia of Islam,VOL.I,E.J.            Brill,Leiden,1987, hlm.881.
[21] Ibn Manzhur, Lisan al-Arab,VOL. IX, hlm.84.
[22] M.H.Abbas, All About the Khilafat, Ray & Ray, Chaudury, Calcutta, hlm. 2.
[23] Hasan Shadly (Pem, Red. Umum), ensiklopedi Indonesia, Jilid III, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1982, hlm. 1769.
[24] . Dr. Abdul qadir Audah, Al-Islam wa Audlo’una Asiyasiyah, Darul Kitab al-Arabi, Al-Qahirah, 1951, hlm.189
[25]. Dr. Yusuf Musa. ,Nidham al-Hukmi fi al –Islam,Darul Kitabil Arabi,Al-Qahirah,1963.. Hlm. 144
[26] . Abu Hasan al-Mawardi,Al-Ahkam Asulthaniyah Wal Wilayatuh al-Diniyah,Musthafa al-Asabil Halabi,Mesir, cet III. Hlm 15-16.
[27] . Dr.Yusuf Musa Op.hlm. 141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar